Foto Oleh: Nouf Zahrah Anastasia |
‘Mas, mau ke naek ya ?’ tiba-tiba aja ada orang nanya ke gw. Ini badan padahal baru aja di istirahatin bentar karena gw dan tasya baru nyampe dari terminal bis Purabaya, Surabaya.
Rupanya
disana sudah ada sekitar 6 orang yang datang
sebelum kami menunggu jip charteran untuk ke ranu pane. Jip tersebut belum mau mengangkut mereka
karena merasa masih kurang jumlah orangnya.
Akhirnya
ditambah gw dan tasya, akhirnya kami ber delapan sepakat mencharter jip
tersebut untuk mencapai Desa ranu pane, sebagai pos pintu masuk pendakian
gunung Semeru.
Menumpang
jip dari tumpang ke ranu pane merupakan pengalaman tersendiri, soalnya jip Toyota
hard top yg terbuka itu itu bisa diisi
sekitar 10 orang ditambah ransel-ransel. Sebagai alternatif bisa juga
menggunakan atau menumpang truk sayuran .
Perjalanan
dari desa tumpang ke pos ranu pane memakan waktu sekitar 2 jam. Melewati perkebunan, jalanan mulai
berkelok-kelok, campuran antara aspal, beton dan tanah berdebu. kiri kanan
jurang, tanah pertanian yang berada di tebing dan dari kejauhan terlihat semeru
yang sesekali batuk menyajikan pemandangan yang indah.
Tiba
di desa Ranu Pane, yg terletak di ketinggian 2200 mdpl gw dan tasya langsung
mencari penginapan untuk istriahat kami malam ini, sebelum memulai pendakian
keesokan harinya.
Pak
Tasrip pemilik, Tasrip Homestay menyambut kami dengan senyumnya. Beliau bercerita panjang lebar mengenai desa
ranu pane, gunung semeru dan cerita-cerita para pendaki yang mampir di Homestay
nya.
Keren
juga, di Tasrip Homestay ada semacam buku tamu yang diisi oleh para pendaki
yang pernah mampir kesana. Sengaja
dipisahkan buku terpisah untuk para pendaki dari mancanegara beserta kata-kata
kenangan dari mereka.
Pagi
harinya, kami pun memulai pemanasan sebelum pendakian dimulai. Sesuai kesepakatan, kami akan menggunakan jasa porter. Kebetulan Mas Ingot, pria ‘jawa’ berdarah
batak yang akan membantu kami selama perjalanan adalah menantu dari Pak Tasrip.
Sekitar
pukul 8 pagi kami memulai pendakian menuju Ranu Kumbolo yg melewati jalanan
aspal, hingga jalan setapak, melewati pinggir bukit yang bergelombang dan
berkelok. Melewati Waturejeg, batu yang
sangat besar, jalan yang kami lewati makin menyempit dan longsor di beberapa
area. Juga banyaknya pohon tumbang,
membuat rasa malas untuk melewatinya atau terpaksa merangkak.
Namun
setelah berjalan sekitar 10 kilometer yang ditempuh dalam waktu 4 jam, rasa
lelah itu pun terbayar dengan pemandangan indah Padang Sabana yang
menakjubkan. Kedamaian terasa ketika
melihat tenangnya Danau Ranu Kumbolo yg terletak di ketinggian 2400 mdpl.
Selain
menikmati keindahan danau ini, para pendaki juga dapat memancing ikan biasanya
mas atau mujair.
Kami
pun memutuskan untuk mendirikan tenda dan bermalam di pinggi danau Ranu
Kumbolo. Bagi pendaki yang ingin
bermalam disini, bisa juga menginap di pos yg berbentuk bangunan bergenteng.
Hingga
malam tiba, tak terasa udara semakin dingin.
Hingga puncaknya alat pengukur suhu menunjukkan – (minus) 2 derajat,
rumput diluar tenda terlihat Kristal-kristal es.
Malam
itu tidurpun jadi hanya beberapa jam saja, karena harus melawan dingin yang
begitu menusuk tulang.
Matahari
pagi yg menyapa akhirnya menghangatkan tubuh kami setelah semalamam berjibaku
dengan hawa dingin.
Setelah
sarapan kami meneruskan perjalanan ke oro oro ombo dan di depan mata sudah
menanti bukit yang berkemiringan tak kurang dari 45 derajat, yang sering
disebut Tanjakan Cinta. Ada mitos yang beredar di kalangan pendaki tentang asal
muasal julukan tersebut. Menurut beberapa sumber mitos ini lahir dari kisah
tragedi dua sejoli yang sudah bertunangan saat mendaki tanjakan tersebut. Mitos yang beredar, nama tanjakan cinta ini
tercipta karena ada pasangan yang sudah tunangan saat naik ke bukit tersebut lalu
sang wanita pingsan dan terguling ke bawah, menyebabkan ia tewas.
Dari
Ranu Kumbolo ke oro oro ombo hanya memakan waktu 15 sampai 30 menit, namun
cukup menguras tenaga mendaki dengat tingkat kemiringan yg curam.
Oro
oro ombo merupakan bekas rawa yg ditumbuhi rumput. Menariknya kita akan
berjalan diantara rumput-rumput yang tingginya melebihi orang dewasa. Keren !
Dari
oro oro ombo kami memasuki area hutan, berjalan diantara pohon cemara yang kokoh. Jalur menuju Kalimati tidak terlalu menanjak.
Berjalan sekitar 4 jam kamipun sampai di pos Kalimati.
Dari
Kalimati kami sudah dapat melihat Puncak Para Dewa, Puncak Mahameru.
Di
Kalimati, yg berketinggian 2700 mdpl ada bangunan pos bagi para pendaki. Biasanya beberapa pendaki memilih untuk
mendirikan tenda disini sebelum summit attack ke puncak Semeru. Oh ya, perlu
diingat cukup sulit menemukan air di kalimati untuk bekal esok hari. Untungnya kami punya mas ingot yang sudah tau
harus kemana mencari air.
Kami
memutuskan untuk tidak menginap di kalimati, namun meneruskan perjalanan ke arcopodo
dan menginap disana agar perjalanan ke puncak Mahameru lebih pendek.
Alhamdulillah,
bermalam di arcopodo ‘ajaibnya’ tidak sedingin ketika kami menginap di Ranu
Kumbolo, gw pun gak ngerti kenapa.
Bangun
jam 01 dinihari, lalu diawali dengan nge-teh dan makan roti, kami bertiga juga
membawa bekal untuk perjalanan menuju puncak.
Perjalanan
kali ini lebih menanjak. dengan menggunaka senter untuk membantu kami melihat
jalan, sesekali terlihat batu peringatan orang-orang yang meninggal disana. Kaki tetap harus melangkah !
Sekitar
1 jam lebih, kami pun tiba di Cemoro Tunggal, namun perjalanan menuju tampat
ini sangat melelahkan karena medan pasir dan bebatuan.
Setelah
melewati cemoro tunggal, medan semakin terasa berat karena jalur batu
pasir. Tidak hanya menguras tenaga tapi
juga mental. Selain itu juga harus
melawan rasa kantuk dan hawa dingin. Tak
jarang kami harus berjalan merangkak, ikut menggunakan kedua tangan juga.
Akhirnya,
sekitar jam 6 kurang, kami pun akhirnya tiba di Puncak Mahameru, 3676 mdpl.
Setelah beberapa saat berada di puncak, kamipun memutuskan untuk turun.
Perjalanan
turun kami harus lebuh hati-hati lagi, karena cenderung longsor dan gampang
merosot. Tiba di arcopodo, tempat kami meninggalkan tenda, lanjut dengan
membereskan barang-barang untuk melanjutkan perjalanan.
Menuju
perjalanan turun kami sekali lagi berkesempatan melihat keindahan Ranu Kumbolo
sebelum akhirnya menuju Tasrip Homestay sebagai persinggahan terakhir menuju
Jakarta.
No comments:
Post a Comment