Wednesday, April 8, 2015

Pendidikan Karakter Melalui Aktivitas Mendaki Gunung


Saat itu saya dan tim baru saja turun setelah mendaki Gunung Papandayan.  Pendakian kami kali ini dalam rangka membuat video untuk salah satu band indie, yaitu Bandaneira.
Dalam perjalanan di dalam mobil bak yang akan mengantar kami ke Cisurupan, handphone saya berdering.
"Lagi dimana lu, de? "baru aja nih turun dari Gunung Papandayan.  Kenapa, Tif?" lanjut saya.  Teman yang berada diseberang sana adalah Latief yang kebetulan seorang jurnalis di Kompas.com.

"Lu udah dengar kan beberapa hari lalu ada korban yang menyebabkan kematian pendaki di Gn. Gede dan Gn. Semeru?" "Oh, iya tuh gw dengar, pas sebelum gua naik".
Pembicaraan pun berlanjut yang intinya, teman saya Latief meminta saya menulis artikel tentang pendakian gunung, berimabas dari keprihatian makin banyaknya orang yang mulai aktifitas mendaki namun minim dalam hal pengetahuan, pendidikan dan tentunya persiapan.

Karena saat itu saya dalam perjalanan, saya meminta Latief untuk menghubungi istri saya saja untuk menuliskan artikel tersebut.
Singkatnya, akhirnya istri saya, Nouf Zahrah Anastasia menuliskan artikel dan dimuat di Kompas.com.

Berikut ini adalah copy dari tulisan di blog nya (www.bundanouf.blogspot.com) :


Bisa jadi, keputusan saya dan suami adalah kontroversial, yaitu mengajak anak kami sejak usia 2.5 tahun naik gunung, bahkan ketika di musim hujan. Sebagian yang tidak mengenal kami secara dekat mencibir dan mengatakan kami egois, sebagian lagi salut dan mendukung. Lepas dari kontroversi setuju dan tidak setuju, biarlah saya memaparkan alasan saya mendaki gunung (plus kenapa saya repot repot mengajak anak saya turut serta).

Mendaki gunung, kerap kali diidentikan dengan kegiatan “heroik” dan kadang dianggap sebagai kegiatan yang penuh bahaya. Bisa jadi, hal ini benar adanya, jika dilakukan tanpa pengetahuan yang cukup dan persiapan yang matang, karena mendaki gunung berarti melibatkan kegiatan fisik berat di alam yang sulit ditebak kondisinya. Namun, di balik kata “heroik” dan penuh bahaya, aktivitas mendaki gunung ternyata memiliki sejumlah manfaat. Dengan pengetahuan yang cukup tentang kegiatan mendaki gunung, perencanaan dan persiapan yang matang, dan eksekusi yang baik, kegiatan mendaki gunung bisa menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan sekaligus menjadi sekolah pendidikan karakater bagi seseorang yang menjalaninya.


Aktivitas mendaki gunung, pendidikan karakter nomer wahid

“Now I see the secret of making the best person: it is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth." - Walt Whitman

Seperti kebanyakan kegiatan di alam bebas lainnya, menjalani aktivitas mendaki gunung bagaikan sedang menjalani kehidupan sejatinya. Aktivitas mendaki gunung memiliki banyak bahan pengajaran pendidikan karakter yang pastinya dibutuhkan seseorang jika ingin sukses dan bahagia dalam hidupnya. Kata “karakter” di sini maksudnya bagaimana seorang seseorang menampilkan kebiasaan positif dalam menyikapi segala kejadian yang dihadapinya dalam kehidupan. Kebiasaan positif ini tentunya dapat dipelajari  dan perlu dibangun/dilatih. Melalui kegiatan mendaki gunung, karakter positif seseorang dapat di bangun.  

Mendaki gunung, bukan kegiatan impulsif karena mengharuskan seseorang melakukan persiapan yang baik. Seorang yang hendak melakukan aktivitas ini sebenarnya telah belajar banyak hal positif bahkan sejak persiapan awal baru dilakukan. Persiapan termasuk di dalamnya menentukan tujuan, membuat target perjalanan, mencari tahu support system yang ada (misalnya letak rumah sakit terdekat), mempelajari tips dan penanganan darurat ketika menghadapi keadaan darurat, ataupun membuat daftar barang yang dibutuhkan untuk mendaki. Melakukan persiapan perjalanan pendakian melatih seseorang untuk tidak gegabah dan penuh perhitungan. Dua hal yang pastinya dibutuhkan dalam menjalani petualangan kehidupan sehari hari. Dengan melakukan perencanaan, seseorang juga belajar bertanggung jawab atas aktivitas yang akan dilakukannya.

Rasa cinta pada alam, tidak bisa tumbuh hanya dengan melihat brosur perjalanan atau menonton televisi. Soe Hok Gie pernah menuliskan …. “Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.  Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat…”.

Dalam perjalanan mendaki gunung, seseorang disuguhkan pada keindahan dan kemegahan alam pegunungan. Dengan hadir secara langsung, semua panca indra terlibat untuk membuktikan alam begitu indah dan kita bertanggung jawab untuk memeliharanya. Seseorang akan dilatih untuk menjadi seseorang yang penuh cinta pada lingkungannya, terasah untuk bertanggung jawab pada dunia, paling tidak pada lingkungan disekitarnya. Tidak membuang sampah sembarangan atau merusak ekosistem yang ada, menjadi pelajaran yang paling sederhana namun penting yang bisa didapat melalui aktivitas naik gunung. 


Ketika melakukan pendakian, seseorang dihadapkan pada banyak tantangan. Medan sudah pasti menanjak, tidak rata, dan pastinya menguras keringat. Jalur pendakian kerap tidak begitu jelas dan banyak kali ditemukan persimpangan. Sering kali jurang terbentang di kiri atau kanan jalan setapak. Rasa dingin yang menggigit dan oksigen yang menipis kompak membuat napas menjadi lebih berat dan tersengal. Seseorang yang mendaki gunung pun diharuskan membawa perlengkapan dalam sebuah tas ransel. Pastinya, butuh perjuangan keras untuk melakukan pendakian dengan beban yang dipikul. Bebarapa orang mungkin melihat semua hal di atas adalah masalah dan menghindarkan mereka dari kegiatan mendaki gunung. Namun, menyikapi semua hal tersebut, seseorang memiliki kesempatan untuk belajar melihat, mengamati, menganalisa, menyiasati, mengantisipasi, mengambil keputusan, atas situasi dan kondisi yang ada. Seseorang dilatih untuk tidak cepat berkeluh kesah dan berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Seseorang belajar disiplin dan mengelola rasa malas dan lelah demi mencapai tujuan yang diinginkan. Seseorang belajar untuk berlaku berani namun berhati hati. Contoh latihan disiplin adalah ketika beristirahat, sangat dianjurkan seseorang untuk mengambil jaket untuk memelihara panas tubuh yang ada. Sebab sering kali, panas tubuh perlahan menghilang berganti dengan rasa dingin yang menggigit. Rasa lelah sering kali membuat seseorang malas untuk bergerak membuka tas untuk mengambil dan kemudian mengenakan jaket. Seseorang belajar untuk disiplin mengelola rasa malas dan bergerak meraih ransel, mengeluarkan jaket, dan mengenakannya. Sebab, dengan mengabaikan disiplin, tujuan tak akan didapat, dan sesuatu yang tidak diharapkan dapat terjadi. Dalam kehidupan keseharian, banyak kejadian tidak mengenakan terjadi hanya karena kita tidak berhasil disiplin dan mengalahkan rasa malas yang ada.

Seseorang sering kali memiliki banyak ketakutan ataupun kekhawatiran dalam dirinya. Aktivitas mendaki gunung memungkinkan seseorang mengalami rasa takut dan cemas akan kondisi yang timbul di lapangan. Pengalaman mendaki memberikan kesempatan pada seseorang untuk mengelola rasa takut dan kekhawatiran yang timbul dengan melakukan tindakan yang diperlukan.

Mendaki gunung biasanya melibatkan individu lain. Dalam melakukan perjalanan mendaki, sering kali kita dihadapkan pada kondisi medan yang sulit sementara tidak semua teman seperjalanan memiliki kemampuan yang merata. Dalam perjalanannya, seseorang mungkin akan kedinginan, terpeleset, jatuh, ataupun merasa lelah. Peserta pendakian masing-masing berkesempatan memberikan bantuan, dukungan, ataupun perhatian satu sama lain. Seseorang dilatih untuk peka akan kondisi yang ada dan karakter suka menolong bisa terasah melalui kondisi seperti ini. 
"Let me help you, my friend"

Ketika mendaki, sesama rekan pendaki bisa berbeda pendapat dalam menentukan jalur yang dilewati atau target yang hendak dicapai. Melalui mendaki gunung, seseorang dilatih untuk mengenal kepribadian dan karakter berbagai individu. Seseorang berlatih untuk mengembangkan kemampuan interpersonal termasuk di dalamnya berlatih menyikapi setiap karakter, kemampuan dan kecakapan yang berbeda yang dimiliki oleh masing masing seseorang. Seseorang belajar untuk menjadi rendah hati dan mau mendengarkan dengan penuh perhatian, mengemukakan pendapat dan bernegosiasi, bijak terhadap kondisi sulit, tegas tapi juga memiliki sikap toleransi sekaligus mementingkan kepentingan kebanyakan orang dan tidak egois. Saya sendiri mempercayai, banyak dari teman-teman mendaki gunung saya, adalah teman teman terbaik.

Pengalaman meditasi

Lebih dalam lagi, selain menjadi kegiatan sosial, aktivitas mendaki gunung bagi saya merupakan kegiatan meditatif. Dikatakan pengalaman meditasi, karena pada saat saya mendaki, seperti seseorang yang sedang bermeditasi, saya belajar untuk fokus pada apa yang sedang saya lakukan pada saat itu saja. Saya hanya berfokus pada mengatur nafas dan memperhatikan langkah. Saya belajar untuk tidak menghawatirkan masa lalu maupun apa yang akan terjadi di kemudian hari. Saya belajar untuk hadir secara sadar pada setiap detik.  Suatu skill yang penting dalam menjalani kehidupan sehari hari. Hadir secara penuh dalam setiap detik untuk fokus melakukan yang terbaik. 
Fokus pada saat ini. Foto oleh Wahyu Wening

Pembentukan karakter tidak lahir sekonyong-konyong, namun membutuhkan latihan yang panjang dan perlu dimulai sedini mungkin. Mempercayai bahwa aktivitas mendaki gunung adalah sarana pendidikan karakter yang alami, oleh karena itulah, saya memutuskan untuk memperkenalkan aktivitas mendaki gunung pada anak saya sedini mungkin. Disamping semua manfaat yang tertulis di atas, saya merasa, melalui kegiatan naik gunung, anak saya yang kini berusia 5,5 tahun tumbuh menjadi anak yang gembira dan percaya diri.

Jadi, yuk, kita naik gunung!


Tips Memilih Jadwal Keberangkatan Saat Berlibur Bersama Balita

Pergi liburan bersama keluarga merupakan salah satu kegiatan yang pastinya menjadi wishlist di tiap tahunnya. Punya waktu yang bisa...