Thursday, October 13, 2011

Ke Puncak Para Dewa

Foto Oleh: Nouf Zahrah Anastasia

‘Mas, mau ke naek ya ?’ tiba-tiba aja ada orang nanya ke gw.  Ini badan padahal baru aja di istirahatin bentar karena gw dan tasya baru nyampe dari terminal bis Purabaya, Surabaya.

Rupanya disana sudah ada sekitar 6 orang  yang datang sebelum kami menunggu jip charteran untuk ke ranu pane.  Jip tersebut belum mau mengangkut mereka karena merasa masih kurang jumlah orangnya.

Akhirnya ditambah gw dan tasya, akhirnya kami ber delapan sepakat mencharter jip tersebut untuk mencapai Desa ranu pane, sebagai pos pintu masuk pendakian gunung Semeru.
Menumpang jip dari tumpang ke ranu pane merupakan pengalaman tersendiri, soalnya jip Toyota hard top yg terbuka itu  itu bisa diisi sekitar 10 orang ditambah ransel-ransel. Sebagai alternatif bisa juga menggunakan atau menumpang truk sayuran .

Perjalanan dari desa tumpang ke pos ranu pane memakan waktu sekitar 2 jam.  Melewati perkebunan, jalanan mulai berkelok-kelok, campuran antara aspal, beton dan tanah berdebu. kiri kanan jurang, tanah pertanian yang berada di tebing dan dari kejauhan terlihat semeru yang sesekali batuk menyajikan pemandangan yang indah.

Tiba di desa Ranu Pane, yg terletak di ketinggian 2200 mdpl gw dan tasya langsung mencari penginapan untuk istriahat kami malam ini, sebelum memulai pendakian keesokan harinya.
Pak Tasrip pemilik, Tasrip Homestay menyambut kami dengan senyumnya.  Beliau bercerita panjang lebar mengenai desa ranu pane, gunung semeru dan cerita-cerita para pendaki yang mampir di Homestay nya.

Keren juga, di Tasrip Homestay ada semacam buku tamu yang diisi oleh para pendaki yang pernah mampir kesana.  Sengaja dipisahkan buku terpisah untuk para pendaki dari mancanegara beserta kata-kata kenangan dari mereka.
Pagi harinya, kami pun memulai pemanasan sebelum pendakian dimulai.  Sesuai kesepakatan, kami  akan menggunakan jasa porter.  Kebetulan Mas Ingot, pria ‘jawa’ berdarah batak yang akan membantu kami selama perjalanan adalah menantu dari Pak Tasrip.

Sekitar pukul 8 pagi kami memulai pendakian menuju Ranu Kumbolo yg melewati jalanan aspal, hingga jalan setapak, melewati pinggir bukit yang bergelombang dan berkelok.  Melewati Waturejeg, batu yang sangat besar, jalan yang kami lewati makin menyempit dan longsor di beberapa area.  Juga banyaknya pohon tumbang, membuat rasa malas untuk melewatinya atau terpaksa merangkak.

Namun setelah berjalan sekitar 10 kilometer yang ditempuh dalam waktu 4 jam, rasa lelah itu pun terbayar dengan pemandangan indah Padang Sabana yang menakjubkan.  Kedamaian terasa ketika melihat tenangnya Danau Ranu Kumbolo yg terletak di ketinggian 2400 mdpl.
Selain menikmati keindahan danau ini, para pendaki juga dapat memancing ikan biasanya mas atau mujair.

Kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda dan bermalam di pinggi danau Ranu Kumbolo.  Bagi pendaki yang ingin bermalam disini, bisa juga menginap di pos yg berbentuk bangunan bergenteng.
Hingga malam tiba, tak terasa udara semakin dingin.  Hingga puncaknya alat pengukur suhu menunjukkan – (minus) 2 derajat, rumput diluar tenda terlihat Kristal-kristal es.
Malam itu tidurpun jadi hanya beberapa jam saja, karena harus melawan dingin yang begitu menusuk tulang.
Matahari pagi yg menyapa akhirnya menghangatkan tubuh kami setelah semalamam berjibaku dengan hawa dingin.

Setelah sarapan kami meneruskan perjalanan ke oro oro ombo dan di depan mata sudah menanti bukit yang berkemiringan tak kurang dari 45 derajat, yang sering disebut Tanjakan Cinta. Ada mitos yang beredar di kalangan pendaki tentang asal muasal julukan tersebut. Menurut beberapa sumber mitos ini lahir dari kisah tragedi dua sejoli yang sudah bertunangan saat mendaki tanjakan tersebut.  Mitos yang beredar, nama tanjakan cinta ini tercipta karena ada pasangan yang sudah tunangan saat naik ke bukit tersebut lalu sang wanita pingsan dan terguling ke bawah, menyebabkan ia tewas.

Dari Ranu Kumbolo ke oro oro ombo hanya memakan waktu 15 sampai 30 menit, namun cukup menguras tenaga mendaki dengat tingkat kemiringan yg curam.
Oro oro ombo merupakan bekas rawa yg ditumbuhi rumput. Menariknya kita akan berjalan diantara rumput-rumput yang tingginya melebihi orang dewasa. Keren !
Dari oro oro ombo kami memasuki area hutan, berjalan diantara pohon  cemara yang kokoh.  Jalur menuju Kalimati tidak terlalu menanjak. Berjalan sekitar 4 jam kamipun sampai di pos Kalimati.
Dari Kalimati kami sudah dapat melihat Puncak Para Dewa, Puncak Mahameru.

Di Kalimati, yg berketinggian 2700 mdpl ada bangunan pos bagi para pendaki.  Biasanya beberapa pendaki memilih untuk mendirikan tenda disini sebelum summit attack ke puncak Semeru. Oh ya, perlu diingat cukup sulit menemukan air di kalimati untuk bekal esok hari.  Untungnya kami punya mas ingot yang sudah tau harus kemana mencari air.

Kami memutuskan untuk tidak menginap di kalimati, namun meneruskan perjalanan ke arcopodo dan menginap disana agar perjalanan ke puncak Mahameru lebih pendek.
Alhamdulillah, bermalam di arcopodo ‘ajaibnya’ tidak sedingin ketika kami menginap di Ranu Kumbolo, gw pun gak ngerti kenapa.
Bangun jam 01 dinihari, lalu diawali dengan nge-teh dan makan roti, kami bertiga juga membawa bekal untuk perjalanan menuju puncak.

Perjalanan kali ini lebih menanjak. dengan menggunaka senter untuk membantu kami melihat jalan, sesekali terlihat batu peringatan orang-orang yang meninggal disana.  Kaki tetap harus melangkah !
Sekitar 1 jam lebih, kami pun tiba di Cemoro Tunggal, namun perjalanan menuju tampat ini sangat melelahkan karena medan pasir dan bebatuan.

Setelah melewati cemoro tunggal, medan semakin terasa berat karena jalur batu pasir.  Tidak hanya menguras tenaga tapi juga mental.  Selain itu juga harus melawan rasa kantuk dan hawa dingin.  Tak jarang kami harus berjalan merangkak, ikut menggunakan kedua tangan juga.
Akhirnya, sekitar jam 6 kurang, kami pun akhirnya tiba di Puncak Mahameru, 3676 mdpl. Setelah beberapa saat berada di puncak, kamipun memutuskan untuk turun.

Perjalanan turun kami harus lebuh hati-hati lagi, karena cenderung longsor dan gampang merosot.  Tiba di arcopodo, tempat kami meninggalkan tenda, lanjut dengan membereskan barang-barang untuk melanjutkan perjalanan.

Menuju perjalanan turun kami sekali lagi berkesempatan melihat keindahan Ranu Kumbolo sebelum akhirnya menuju Tasrip Homestay sebagai persinggahan terakhir menuju Jakarta.

Monday, October 10, 2011

Merasakan Tambelo, Menantang Nyali

Foto Oleh: Ayos Purwoaji

Bentuknya putih panjang berlendir. Ini bukan tipikal panganan yang biasa kita jumpai bukan? Apalagi ini dimakan langsung, tanpa dimasak terlebih dahulu sebelumnya. Tentu saja ini adalah sebuah tantangan yang mengasyikkan. Mencoba local taste dalam balutan kuliner ekstrim adalah sebuah pengalaman yang patut dicoba oleh setiap petualang.

Kami menemukan makanan ini sore hari, ketika berkunjung ke Pelabuhan Pomako. 
Penduduk lokal, orang-orang Kamoro yang lahir dan besar sebagai pelaut, suka membuka pasar kaget hasil laut di sekitar pelabuhan. Paling banyak adalah ikan kakap dan kepiting. Jika Anda tahu, kepitingnya adalah jenis bakau, mereka mencarinya di sela-sela akar hutan mangrove. Ukurannya gigantis, tiga kali lebih besar daripada ukuran kepiting normal.

Kami beranjak dari satu lapak ke lapak lain. Kami memotret hasil tangkapan mereka, hingga di meja paling ujung, kami mendapatkan sebuah makanan yang asing: putih panjang penuh lendir, ditempatkan dalam sebuah mangkok penuh air.  Muhammad Yamin, guide kami mengatakan,"Itu namanya tambelo, kalian harus coba!"


Menurut Yamin, tambelo adalah hewan laut yang hidup di batang-batang pohon bakau yang sudah mati. Tubuh hewan ini memang lunak, seperti keluarga ubur-ubur. Tapi memiliki kepala bulat dengan cangkang yang sangat keras. Mereka membuat lubang-lobang di kayu dengan cara mengebor, kepala yang serupa torpedo sangat membantu tambelo untuk melubangi batang lapuk. Panjang hewan ini sekitar 25 centimeter.


Tambelo ini seumur hidup tinggal di lubang kayu yang mereka buat, jadi meski tinggal di muara penuh lumpur, tubuhnya tetap bersih dan putih.


Selanjutnya Yamin terlibat tawar menawar serius dengan penjual. Satu mengkok mereka hargai 20.000 rupiah. Jumlahnya cukup banyak, jadilah kami hanya membeli setengah mangkok. 


Cara makannya cukup unik. Kami harus menelan langsung tanpa mengunyah tambelo terlebih dahulu. Tata cara makan 'langsung ditelan' seperti ini biasanya saya temui untuk kasus makanan yang menyembuhkan, seperti pil, empedu ular, atau kuning telur ayam kampung.


"Penduduk sini memang menggunakannya sebagai obat. Kalau ada penduduk sakit biasanya langsung mencari tambelo ini di batang-batang bakau," kata Yamin.


Saya dan Ayos tertarik untuk mencoba. Rasanya cukup aneh, anyir sekaligus gurih dan sedikit asin. Untung saja tidak amis dan berbau menyengat. Lendir dan tubuh pipihnya mudah masuk melewati kerongkongan, terasa adem seperti cincau dengan ukuran yang sangat panjang. Membuat kami sedikit bergidik setelah menyantapnya.


Setelah kami mencoba tambelo, seorang kontraktor asal Depok yang, Hendra, juga tertarik untuk mencoba. "Rasanya lumayan gurih, cukup bisa diterima lidah Jawa saya," kata Hendra sambil tertawa.


Tiba-tiba saja saya dan Ayos menjadi ketagihan. Sore itu, diselingi derai tawa dan taruhan tanpa uang untuk menantang keberanian, kami sudah habis tiga tambelo. Yamin lebih gila lagi, mungkin dia habis lima.

Jibama, Pasar Jamaika di Wamena


Sejak tiba di Wamena, kami tidak membuang waktu percuma.  Selesai check in di hotel Pilamo, kami langsung berangkat memulai city tour. Bang Herman, guide andalan kami di Wamena membawa saya dan Ayos berkunjung ke Pasar Jibama.

Pasar ini merupakan pasar tradisional terbesar di Wamena. Segala rupa barang dan kebutuhan ada. Mulai dari sayur mayur, madu, sagu, buah merah, dan berbagai bunga. Pasar Jibama ini seperti Jamaika kecil, semua warna campur aduk penuh kontras.


Beberapa hal yang membuat saya semakin mengira bahwa Pasar Jibama ini di Jamaika adalah banyaknya paduan warna rasta; merah kuning hijau, di segala sudut.
 Anak-anak kecil yang mengenakan kaos Bob Marley, perempuan yang membawa noken (tas yang ditautkan ke kepala) berwarna sama, atau beberapa pria yang mengenakan topi dengan corak sama, lengkap dengan bordiran daun cannabis di tengahnya.

Saya pun berkeliling di temani Bang Herman, sedangkan wajah Ayos mulai pucat.
 Tampaknya di satu sisi ia ingin memotret banyak hal, di sisi lain ia takut seluruh orang di pasar akan memintainya uang. Tapi Bang Herman memang guide pujaan, setelah dia bercakap-cakap dengan bahasa lokal, penduduk setempat tidak keberatan untuk difoto. Ayos pun gembira, dan ia mulai lupa diri, sibuk bermain dengan DSLR-nya.

Di sebuah ujung los pasar, saya menemukan seorang penjual papeda, makanan tradisional yang terbuat dari tepung sagu. Karena penasaran, saya pun membelinya satu mangkok. Don Hasman, dalam sebuah kesempatan pernah berkelakar,"Makanan khas Papua itu lem sagu!" Saya hanya tertawa saja mendengarnya. Tapi tentu saja Don Hasman benar, papeda ini sangat kenyal dan sedikit lengket di lidah.


Penjualnya bernama Ratna, asli Banyuwangi, Jawa Timur. Dia kemari karena ikut suami, sejak empat tahun yang lalu. Saya meminta papeda saya dicampur dengan kuah gule ayam, pilihan lain untuk teman papeda adalah gule ikan. Menurut saya keduanya sama saja.


Setelah saya mencoba papeda, sekarang giliran Ayos mencoba kuliner ekstrim lainnya; pinang. Bagi penduduk Papua, buah pinang adalah camilan yang enak, cara makannya langsung dikunyah, ditambah bunga sirih dan kapur, itu adalah kudapan paling umum yang bisa ditemui di seluruh Wamena. Setelah dikunyah beberapa lama, mulut akan menjadi merah, sama seperti orang tua di Jawa yang suka mengunyah sirih dengan padanan tembakau.


Saat pertama makan pinangnya, Ayos masih baik-baik saja. Tapi kondisi berubah setelah potongan bunga sirih dimasukkan ke dalam mulut, wajah ayos berubah menjadi merah. Perutnya meledak-ledak, ia ingin muntah. "Gimana rasanya, Yos?" tanya saya menggoda, Ayos hanya menggelengkan tangannya saja. Lalu
byor, Ayos memuntahkan seluruh isi mulutnya. "Rasanya gila!" kata mahasiswa angkatan tua ini sambil tertawa.
Pasar Jibama tidak saja menjual sayur, di sudut lain ada pula bagian pasar babi dan ikan.

Setelah dari Pasar Jibama, kami menuju Jembatan Wesaput. Jarak antara keduanya tidak jauh, hanya beberapa kali tikungan saja. Tidak ada yang istimewa dari jembatan ini kecuali bentuknya yang berupa jembatan gantung dengan struktur besi dan tali baja. Jika kita melintas di atasnya, maka jembatan ini akan bergerak naik turun. Cukup mengerikan buat orang yang
phobia terhadap air, apalagi di bawahnya mengalir Sungai Baliem dengan lebar tiga belas meter yang tampak dalam.

Sunday, October 9, 2011

Berpetualang Bukan Berlomba



Tanah gersang berpasir, sabana dengan tumbuhan berduri dan udara panas yang kering sangat ideal untuk menjajal fisik, psikologis, kemampuan berfikir dan bertindak cepat.
Ya, dipilihlah kawasan Karangtekok, Baluran, Jawatimur pada September 2002 itu sebagai tempat seleksi para petualang Marlboro Adventure Team.

Tahap seleksi itu berlangsung selama 3 hari, yang menguji kemampuan perorangan dan juga kemampuan dalam hal berkerjasama dengan orang lain dalam satu tim.
Mengendarai mobil jip di medan offroad, motor cross, sepeda gunung, mountain hiking, rappelling, mendayung perahu, berenang hingga disudahi dengan lari marathon.

Seolah offroader dan crosser handal para peserta ditantang untuk menanjaki terjalnya bebatuan di tebing.  Beberapa peserta harus jatuh dari motornya karena melayang tak terkendali, hingga cedera pun tak bisa dihindari beberapa peserta.

Bukan pekerjaan mudah. Begitu juga ketika harus bersepeda gunung, down hill tak jarang peserta harus memanggul atau mengangkat sepedanya ketika melewati perbukitan yang curam dan juga sungai yang berbatuan.
Setelah istirahat beberapa jam, maka sekitar pukul 10 malam masih harus dilakukan kegiatan tantangan malam hari, haling-rintang, wall climbing dan flying fox hingga selesai dini hari.  Lagi-lagi, cedera adalah bagian dari petualangan.

Keesokan harinya petualangan dilanjutkan, namun hari ini lebih menilai kerja sama dalam tim. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk menjalani kegiatan yang berjarak sekitar 25 kilometer, dibutuhkan kemampuan orienteering, skin diving, rowing dan rappelling.

Dalam hal orienteering, ketika suatu tim tidak bisa membaca peta, maka nyasar adalah resikonya ! beberapa kelompok bahkan harus mengangkat atau memanggul salah satu bagian dari sepeda teman nya, dikarenakan rusak.
Sepintas mirip akrobat sih !

Bersepeda di bawah teriknya matahari Baluran, kegiatan masih dilanjutkan dengan mendayung perahu ke tengah lautan untuk mencapai pantai Bama.
Karena tidak biasa dalam hal dayung mendayung dan juga kecangnya angi lautan, beberapa tim harus rela perahunya terbawa semakin jauh dari titik finish yang sudah ditentukan.  Pada kegiatan ini, tidak semua tim yang akhirnya dapat menuju titik finish tersebut.

Hari terakhir adalah gabungan antara kerjasama tim dan kemampuan perorangan. Pertama secara berkelompok yg tidak ditentukan, harus membuat rakit dari bambu dan ban dalam yang disediakan untuk menuju kapal yang berjarak sekitar 3 km.
Dari kapal tersebut, kemampuan perorangan pun mulai dijajal. Masing-masing peserta harus berenang menuju pantai sejauh 600 meter dan dilanjutkan dengan berlari sejauh kurang lebih 8 km.
Triatlon. Itu sudah !

Lelah mengayuh perahu dan berenang, keringat yang bercampu rair laut dan wajah merah yang terbakar matahari, merupakan gambaran dari para peserta.  Bulu kuduk pun berdiri dibuat oleh sengatan matahari.

Seperti Oase di padang pasir.  Ketika berlari beberapa lama, peserta disuguhkan buah segar (semangka, melon) dan juga minuman isotonik dingin sebagai penghilang dahaga.
Minuman yang paling menyegarkan didunia ! itu yang sayarasa saat itu.
Sambil mengatur nafas, saya cuma berdo’a agar tidak terkena heat-stroke, lalu jatuh pingsan dan tidak sampai di garis finish.  Dan…akhirnya garis yang dituju itu ada di depan mata. Berakhirlah acara seleksi selama 3 hari berturut-turut itu.

Pada malam harinya, dilakukan pengumuman 10 petualang terpilih yang akan melakuan petualangan berikutnya di Utah, Amerika Serikat dan saya adalah salah satunya.

Namun 65 orang lainnya yang hadir disana selama 3 hari disana, patut berbangga karena mereka telah terpilih dari kurang lebih 231.000 orang yang berasal dari 25 kota di seluruh Indonesia.
3 wanita terpilih ambil bagian dalam kegiatan ini, dan kebetulan pacar saya adalah salah satunya.
Malam itu adalah malam milik kami bersama, semua merayakan malam petualangan bersama-sama.  Tidak ada Menang-Kalah.

Karena pada dasarnya berpetualang bukan berlomba !








Pantai Amay-Harlen

Penginapan di pinggir pantai Amay

Sepi.Tenang.

Senja di Harlen
Amay Harlen
Pantai Amay terletak di daerah Depapre, sekitar 25 kilometer dari Sentani. Tidak terlalu jauh sebetulnya. Tapi jangan harap menuju pantai ini dengan mudah, jalanan tidak beraspal dan penuh lubang siap menyambut perjalanan Anda. Saya dan Ayos saja hampir putus asa, tapi apa daya, jalan pulang sama jauhnya dengan jalan menuju pantai. Jadi ya sudahlah terus saja.

Sepanjang perjalanan sebetulnya mendung sudah menggantung. Tapi tetap saja tidak turun hujan, kondisi cuaca seperti ini membuat mood kami mendadak muram.  Memang kami datang di bulan yang kemungkinan curah hujan nya tinggi, di bulan oktober tahun lalu.

Apalagi saat kami tiba di bibir pantai, hanya sedikit orang yang terlihat. Satu keluarga wisatawan mancanegara dan beberapa keluarga lokal. Padahal Pantai Amay memiliki pantai yang panjang, sedikit pengunjung otomatis menjadikan pantai ini terlihat lengang.

Ayos berusaha mengambil gambar, meski saya tahu tidak banyak gambar bagus yang bisa dihasilkan dari cuaca mendung seperti ini. Langit terlihat menjadi flat. Akhirnya setelah sedikit mengeksplor, kami duduk-duduk saja di sebuah beruga, lalu mengobrol tentang apa saja.

Karena dikejar waktu dan kami harus segera menuju Pantai Harlen, akhirnya kami bergegas mengepak barang bawaan dan pergi meninggalkan beruga. Tidak jauh kami berjalan, ada seorang nelayan tua menghampiri. Ternyata ia meminta biaya sewa beruga sebesar lima puluh ribu rupiah. Saya dan Ayos terkejut, kami duduk tidak lama. Mungkin baru sepuluh menit saja.

“Masak turis luar negeri bayar, kalian tidak. Sini, lima puluh ribu!” kata si Nelayan Tua sambil melontarkan kata-kata sarkas. Nominal itu tidak dapat ditawar, ia tetap meminta selembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai itu.

Karena tidak ingin ribut, akhirnya kami bayar saja sambil terus mengerutu. Kami ini petualang kelas ransel. Uang lima puluh ribu tentu saja sangat berarti bagi kami, nilai itu berarti adalah dua porsi nasi rendang di depot masakan Padang dekat hotel kami di Sentani. Tapi ya sudahlah.

Akhirnya kami menuju Pantai Harlen. Dari Pantai Amay sebetulnya dekat saja, tinggal mengarahkan mobil kea rah Pelabuhan Depapre, lantas menyewa boat untuk pergi pulang seharga 300.000 rupiah. Pantai ini bisa ditempuh selama 20 menit dengan boat. Sebetulnya ada jalan lain melalui darat, tapi pada sebuah titik Anda dipaksa trekking untuk mencapai pantai mungil ini.

Yang saya bayangkan pertama kali saat melihat pantai ini adalah pemandangan di Desa Komodo; arus pantai yang kalem, pemandangan bukit-bukit yang mengepung horizon, dan air yang jernih sehingga saya bisa melihat dasar laut.

Kami datang ketika matahari sudah jauh tergelincir ke barat. Pantai yang sangat bagus untuk snorkeling ini sangat sepi, seperti sebuah pantai pribadi. Kami bebas menjadi liar dan berlaku gila, semacam boys stuff yang tidak bisa kami lakukan sembarangan jika berada di tempat kerja.

Saya mencoba gantungan tarzan yang disediakan penduduk bagi wisatawan yang ingin menguji adrenalin. Posisi mulainya memang tidak keren, yaitu di atas pohon kelapa. Lalu saya memegang kayu di ujung tali dengan perasaan ngeri, saya takut kalau ternyata dasar pantainya dangkal sehingga jika saya jatuh bakal terasa.

Saya lantas melepas kaitan kaki pada batang kelapa. Tubuh saya terdorong kea rah laut dengan cepat. Gantungan tarzan ini membuat saya berayun-ayun beberapa centimeter di atas permukaan laut. Pada sebuah titik paling jauh lantas saya melepaskan pegangan dan tubuh saya terlempar ke arah laut. Byuur!

Pemandangan matahari terbenam di balik bukit adalah penutup yang sempurna untuk kunjungan kami ke Pantai Harlen hari itu. Diselingi air laut yang tenang dan mengambang kami menikmati pemandangan sunset sambil mengobrol dan menunggu jemputan yang membawa kami kembali ke Depapre.

Kau Mati, Aku Potong Jari



Saat wanita lain sedang sibuk mengangkuti batu panas dengan sebuah bilah kayu yang yang dibelah, nousa (ibu tua) itu tampak diam saja. Dia sebetulnya sangat ingin ambil bagian dalam acara pesta ini, tapi sudah tidak mungkin lagi baginya untuk mengangkat banyak hal. Tangannya cacat, hampir seluruh jemarinya hilang. Jika saja tidak disisakan seiris jempol di kedua tangannya, maka sulit bagi kita untuk menerka itu adalah tangan manusia.

Jemari buntung nousa yang kesepian itu adalah sebuah sejarah panjang tentang kehilangan. Tentang orang-orang tersayang yang pergi, menyisakan sang nousa sendiri.

Cacat tangan itu memang sesuatu yang disengaja. Disebut ikipalin (adat potong jari), jika ada seseorang yang kau sayangi mati, maka potonglah jarimu satu dua biji. Itu melambangkan sebuah duka yang mendalam. Rasa sakitnya ditinggal pergi ibaratnya sampai ujung jari. Daripada sakit terus menerus, maka lebih baik dihilangkan saja, dipotong dengan kapak batu yang tidak terlalu tajam, namun bisa membuat ujung jari remuk remas jika dihunjamkan.

Saya tidak bisa membayangkan sakitnya. Jika pada abad pertengahan,  manusia di Eropa sudah mengembangkan guillotine (alat penggal kepala) untuk meminimalisir rasa sakit. Maka itulah hebatnya Suku Dani, yang hingga hari ini tidak memiliki evolusi berarti untuk sekedar alat potong jari.

Darah yang mengucur dari ujung jari yang terpotong dibebat dengan daun yang sebelumnya sudah diolesi dengan ramuan tradisional. Menghilangkan rasa nyeri juga risiko terinfeksi dan borok jika dibiarkan terbuka.

Sebuah lukisan realis di lobby hotel Baliem Pilamo mengandaikan proses ini dengan sangat menarik. Lukisan kisah penciptaan dalam Bibel yang terkenal digambar ulang. Tampak dua tangan milik Adam dan Tuhan yang bersatu, seperti lambing connecting people milik Nokia. Hanya saja telunjuk Adam hilang terpotong dan diperban dengan daun dan kulit rotan. Ini adalah mop, lelucon khas Papua, dalam bentuk yang lebih filosofis. 

“Dua jari ini hilang karena adik saya mati dalam perang,” kata nousa menunjuk jari manis dan kelingkingnya. “Kalau dua ini saya potong karena suami saya meninggal, saya sedih sekali,” lanjutnya memperlihatkan telunjuk dan jari tengahnya.

Tradisi yang mengerikan ini memang sudah berjalan selama ribuan tahun. Bisa jadi suatu saat para arkeolog masa depan banyak menemukan tulang jari tanpa tangan di bawah lapisan tanah Wamena. Sebagai bukti peradaban Suku Dani pernah tinggal di atasnya. Saya pikir, dengan banyaknya jumlah perang suku yang terjadi selama ini, pasti banyak sekali ibu dan istri yang potong jari.

Cara lain untuk mengutarakan kesedihan pada Suku Dani adalah dengan melumuri tubuh dan wajah dengan lumpur sungai. Bang Herman, sang guide menunjukkan saya seorang wanita yang mukanya penuh lumpur berwarna kuning saat upacara bakar batu,”Suaminya baru saja meninggal,” kata Bang Herman menjelaskan.

Bagi keluarga yang sedang berduka, maka pantang untuk pergi jauh dari desa. Masa berkabung ini hanya diisi dengan mendekam diri selama seminggu dua minggu atau lebih. Minggu selanjutnya sudah bisa keluar kampung, tapi dengan tujuan yang tidak jauh. Dilakukan bertahap hingga rasa sedih benar-benar hilang dan sudah bisa beraktivitas lagi dengan normal.

Begitulah tata cara berbela sungkawa pada Suku Dani. Maka jika aku mati, silahkan kau potong jari.

Udang Monster Ala Wamena


 
Jika ada makanan lain yang paling diinginkan oleh para pelancong di Wamena, maka pasti itu bukanlah hipere (ketela rambat), melainkan Udang Baliem (Cherax sp) yang unik. 
Makanan ini yang saya santap bersama Ayos selama beberapa hari ketika kami berkunjung ke Wamena tahun lalu.

Bentuk udang ini sangat memuaskan, tiga kali lebih besar daripada ukuran udang biasa. Badannya tertekuk 360 derajat, cangkangnya sangat keras, kaki-kakinya jenjang dan dan tegas. Tapi yang paling menggoda adalah dua buah capit besar di ujung tangannya. Seperti ketam.
Dari sepasang capit inilah banyak orang yang lebih suka menyebutnya sebagai Udang Selingkuh. Konon, spesies ada karena hasil selingkuh antara udang biasa dengan ketam. Ada-ada saja memang. Tapi itu sudah, orang Wamena sangat suka dengan mop, lelucon sederhana yang kadang garing, kadang juga bikin ketawa sampai menangis.
Sebetulnya, ini bukanlah udah biasa. Secara biologis udang ini bisa dikelompokkan sebagai jenis lobster air tawar (Cherax sp). Habitatnya tersebar di sepanjang Sungai Baliem. Setidaknya hingga saat ini ada delapan buah jenis lobster air tawar di Lembah Baliem yang sering dikonsumsi masyarakat.
Tapi tak usahlah kita membicarakan bentuknya yang aneh. Karena masih banyak hal yang bisa kita ulas dari hewan yang sangat trilobite ini.


Bagi penggemar kuliner, tentu saja udang endemik ini sudah seperti legenda. Dari beberapa orang yang saya tanyai tentang “10 Hal yang Tidak Boleh Dilewatkan Selama di Wamena”, udang ini pasti masuk di dalamnya. Jadi, hukum untuk mencoba udang ini saat berkunjung ke Wamena adalah wajib ain.


“Pokoknya kalau ada tamu, pasti kitong punya tamu minta disediakan udang selingkuh,” kata Meylan, seorang pramusaji di Hotel Baliem Pilamo. Gadis Cina-Manado ini juga bercerita tentang cara menangkapnya,”Bisa dipancing atau dijaring, ada pula yang diternak, tapi biasanya itu udang punya rasa bisa berubah jika sudah diternak,” jelas Meylan.


Menurut pengamatan lidah saya, Udang Baliem ini dagingnya bertekstur lebih lembut dibandingkan udang air asin. Rasanya pun sangat gurih. Sungguh berbeda dari udang atau lobster biasa. Cara menikmatinya pun tidak seperti kita memakan udang air asin, kulit kerasnya harus dikupas terlebih dahulu untuk menikmati dagingnya yang manis.
Banyak cara memasak udang selingkuh ini. Sampai meninggalkan Wamena, setidaknya saya sudah mencoba beberapa variasi; udang asam manis, udang oseng mentega, dan digoreng biasa. Semua sajian akhirnya habis di meja makan, saya memang tergolong omnivora yang rakus untuk urusan makan enak.


Jika ingin membeli udang ini sebagai oleh-oleh, silahkan mencarinya di pasar tradisional seperti Jibama. Meskipun, sepengetahuan kami tidak banyak orang yang menjualnya.
Suatu saat kami bertemu dengan seorang pria yang membawa dua kantong plastik besar di ruang tunggu Bandara Wamena, ternyata di dalam kantong plastik itu berisi Udang Baliem. Ia menjual seharga 200.000 rupiah untuk setiap setengah kantung plastik. Saya taksir beratnya sekitar tiga kilogram.
Sekedar informasi, para penjual di Wamena tidak terbiasa dengan hitungan kilogram. Mereka lebih familiar dengan perhitungan fisik; segenggam, seikat, atau setengah noken. Jangan panik, sistem purba ini memang menjadi sebuah daya tarik yang sudah jarang ditemukan di tempat lain.


Saat berbelanja di Wamena, silahkan menawar dengan harga pas, karena agak susah bagi para pedagang tradisional untuk membayangkan bilangan cacah seperti; dua puluh tiga ribu enam ratus lima puluh rupiah misalnya, jika Anda menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan, akan sulit bagi mereka untuk menghitung kembalian.


Tawar juga dengan harga yang pantas, jika Anda tidak ingin disabet dengan kapak batu.
Rekomendasi kami untuk merasakan Udang Baliem dengan cara yang instan ada di Restoran Hotel Baliem Pilamo. Seporsi Udang Selingkuh Asam Manis yang dihidangkan sekitar 15 ekor dijual dengan harga Rp 95,000.

Mendarat di Rantau Minang



Dalam area istana Pagaruyuang

Jam Gadang

Pengantin Minang
Malin Kundang

Istana Silinduang Bulan


Catatan perjalanan ke Tanah Minang yang pertama gua dengan mantan pacar, Januari 2008

BIM - Danau Singkarak - Istana Silinduang Bulan-Bukittinggi


Pantai Air Manis. Pantai ini berjarak kurang lebih sekitar 4 km di selatan Kota Padang dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 30 menitdari bandara BIM. Di pantai inilah terdapat batu yang menyerupai manusia yang sedang bersujud. Dikenal dengan Batu Malin Kundang. Legenda yang di pelajari dari bangku sekolah dasar. Di sekitar batu tersebut terdapat pula batu batu pantai yang menyerupai bekas sebuah kapal.  Di sekitar pantai ada juga relief yang menceritakan legenda tersohor ini.


Danau Singkarak. Merupakan danau terbesar di Sumatera Barat. Sayang saat berkunjung kesana tampak danau tersebut tidak terawat, banyak sampah di sekitar danau, dan sangat.... sepi. Danau ini pun tidak memiliki fasilitas wisata yang dapat di andalkan selain keindahan danau itu sendiri. Terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan antara Solok dan Batusangkar. Jalan berliku-liku dengan suguhan pemandangan danau yang luas dan indah, yang didalamnya terdapat ikan yang menjadi mata pencaharian sebagian masyarakat sekitar. Ikan Bilih namanya, cukup enak di asap dan di bumbu balado sebagai teman makan siang. 


Istana Pagaruyuang. Sebelum mencapai istana ini, kita bisa melihat pekuburan raja-raja Pagaruyung. Namun sayang istana ini telah terbakar beberapa waktu sebelum kami kesini. Yang tersisa hanya rumah gadang yang kecil dan tonggak atau tiang pancang pertama sebagai tanda akan dimulainya pembangunan ulang istana ini. 


Istana Silinduang Bulan. Tidak begitu Jauh dari lokasi istana Pagaruyung. Terdapat istana Silinduang Bulan. Dibangun sebagai pengganti istana lama yang terbakar di masa lalu. Menurut dari beberapa sumber yang kami dapat bahwa di dalam istana ini disimpan harta pusaka serta silsilah raja-raja Kerajaan Pagaruyung dari dulu hingga keturunannya sekarang.
Setelah mengambil beberapa foto di istana yang cantik ini, kita segera bertolak menuju Bukittinggi. Pilihan jatuh pada Hotel Galery yang letaknya persis di seberang hotel The Hills (dahulu Hotel Novotel), letaknya sangat dekat dengan pusat kota, Jam Gadang dan pusat jajanan, Pasar Atas. Strategis kan? 


Jam Gadang di malam hari. Selesai istirahat sebentar, kami pun gak sabar untuk segera ber putar-putar kota. Sekedar mampir dan menghabiskan malam di kota yang sejuk ini. Tentunya gak lupa foto foto di depan Jam Gadang yang malam itu diramaikan oleh banyak masyarakat yang ingin bersantai di sekitar jam. Puas foto-foto, kita makan sekoteng telur dan susu. Rp. 4000.- saja. Benar benar enak, dan mampu menghangatkan badan dari udara Bukit Tinggi yang sejuk.


Perjalanan hari selanjutnya kami tentukan untuk melihat Jam Gadang di pagi hari -Taman Panorama - Lubang Jepang - Benteng Fort de Kock - Kebun Binatang
Walaupun badan masih terasa lelah karena perjalanan di hari pertama kemarin, kami tetap bertekad bangun sepagi mungkin. Sayang rasanya kalau harus menghabiskan waktu terlalu lama di tempat tidur, sementara berbagai objek wisata telah menanti untuk di kunjungi. Kami pun segera mandi dan bergegas sarapan untuk kemudian memutuskan berjalan kaki berkeliling tempat wisata sekitar.


Jam Gadang di Pagi Hari. Waktu sudah menunjukkan pukul 9. Dari hotel Gallery hanya dibutuhkan waktu 5 menit untuk bisa sampai ke Jam Gadang dengan berjalan kaki. Di tempat ini, seperti biasa pengunjung memuaskan diri untuk berfoto. Dapat ditemui juga berbagai macam barang dagangan yang dijajakan. Yah, Monas lah bandingannya kalau di Jakarta, tapi dengan ukuran yang lebih kecil dari berbagai hal. Di sekitar Jam Gadang banyak tersedia bendi/dokar (kereta yang di tarik oleh kuda dengan pak kursir yang duduk di muka....) yang siap mengantarkan para calon penumpang keliling kota. 


Setelah ditimbang, akhirnya untuk menyingkat waktu, kami memutuskan untuk menggunakan jasa kereta kuda tersebut. Rp. 10.000 harga yang di sepakati untuk menggunakan alat transpotasi tersebut dari Jam Gadang ke Taman Panorama dan Lubang Jepang. Sebenarnya, kalau penduduk lokal, harga biasanya hanya Rp. 5000.


Taman Panorama dan Lubang Jepang. Gak sampai 10 kami sampai di depan pintu masuk Taman Panorama dan Lubang Jepang. Setelah membayar tiket masuk yang seharga Rp. 3000, beberapa guide lokal langsung menghampiri dan menawarkan jasanya untuk memandu kami pada saat masuk ke lubang. Tapi kami memutuskan untuk mengeksplorasi sendiri. Taman Panorama adalah sebuah taman yang memang di buat bagi para penikmat alam memandangi keindahan Ngarai Sianok dari atas Bukittinggi. Sungguh indah, dan ajaib. Di tengah kota Bukittinggi, begitu saja terdapat Ngarai nan indah di tengah tengahnya.
Lubang Jepang yang bersejarah ini berada di dalam area Taman Panorama. Seperti namanya, lubang ini merupakan peninggalan pada masa penjajahan Jepang. Lubang atau lebih tepatnya di sebut terowongan bawah tanah ini panjangnya ratusan meter yang ber liku-liku dan terdapat bermacam ruangan di dalamnya . Di pintu masuk, kita sudah dihadapkan pada anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat yang menurun sekitar 45 meter di bawah permukaan tanah Bukittinggi.
Setelah puas berputar putar di lubang Jepang, kita bergegas cari kereta kuda lagi sebagai transport untuk membawa kita ke tujuan berikutnya, Benteng Fort de Kock.


Benteng Fort de Kock. Hanya sekitar 5 menit, kita sampai di pintu gerbang lokasi Benteng Fort de Kock. Penasaran juga, seperti apa benteng tersebut. Eh, gak tahunya gak sebesar dan se spektakuler yang kami banyangkan. Tapi yang jelas mempnyai nilai sejarah. Benteng ini letaknya di puncak bukit di kota Bukit Tinggi. Benteng ini di bangun pada tahun 1825. Menurut info yang kami ketahui, benteng ini di buat pada waktu terjadi perlawanan rakyat yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol dan Hariamau nan Salaban. Di sekitar benteng terdapat parit pertahanan Belanda dan meriam kono.
Setelah menyaksikan benteng bersejarah tersebut, kami pun mengeksplorasi lokasi sekitar benteng. Ternyata kami menemukan sebuah jembatan yang cukup mencolok dan unik selain karena warnanya yang ‘ngejreng’, jembatan ini menghubungkan 2 buah puncak bukit (bukan sungai kayak biasanya), jembatan Limpapen namanya.  Melewati jembatan tersebut atau di seberang benteng Fort de Kock itu adalah sebuah kawasan kebun binatang.


Kebun Binatang. Unik banget, karena letaknya yang berada di atas bukit. Namun agak diayangkan karena terlihat kurang terawat dan terkesan kumuh. Padahal dari lokasinya menurut kami sangat cantik. Karena letaknya di perbukitan, maka letak kandang-kandang tempat hewan-hewan tidak sejajar. Tapi ada yang di atas, ada yang lebih di bawah. Keren deh. Di dalam kebun binatang ini juga terdapat musium adat Minangkabau. Hanya bayar Rp. 1000,- kita bisa lihat-lihat beberapa peninggalan budaya Minangkabau. Mau lebih seru lagi? Dengan bayar Rp. 20.000,- kita bisa foto foto di pelaminan Minang sambil pake baju pengantin minang. Asik kan?

Mandalawangi dalam 17

Jembatan Kayu
Hutan


Bunga. Ungu

Hijau

Pemandangan dari atas air panas
Air Panas

Jum’at sekitar Jam 9 malam saya dan istri sampai di Cibodas sebagai salah satu pintu masuk untuk melakukan pendakian ke Gunung Gede-Pangrango.

Sebenarnya kami berdua sudah memutuskan untuk melakukan pedakian malam itu juga untuk mengejar beberapa teman yang sudah naik terlebih dahulu beberapa jam sebelumnya. Namun akhirnya kami mengurungkan niat karena mendengar cerita teman teman di Montana, petugas pengawas Taman Nasional Gede-Pangrango. ‘Wah, Macan-macan lagi pada turun gunung! Mereka cari air dan makanan sampe kebawah.  Hal seperti ini biasa terjadi pada saat musim kemarau berlangsung.  
Sekitar 2 miggu lalu beberapa teman-teman Motana juga ada yang sempat mendengar suara auman tak jauh dari pos mereka.
Hmmm….setelah mendegar ‘masukan’ dari teman-teman Montana tersebut, saya dan istri melakukan diskui kecil apakah kita akan memulai pendakian malam ini juga atau menuggu teman lainnya yang juga akan berniat untuk naik gunung.
Walaupun sudah melakukan pendakian ke gunug beberapa tahun di beberapa gunung, terus terang aja saya belum pernah ketemu yang namanya macan (paling paling cuma jejaknya aja).   Belum kebayang gimana kalau beneran ketemu Macan ! Alhasil kita memutuskan untuk menunggu teman yang dari Jakarta yang sedang dalam perjalanan menuju taman nasional Gede-Pangrango ini.
Hasil kontak-kontakan, Wening dan Bayu (Ketua Mapala UI BKP 2007) akan berangkat bareng dari Depok menuju Cibodas.  Oke, kita putuskan akan menunggu mereka tiba dan bisa memulai pendakian bareng.
Tunggu punya tunggu, kami berdua sampe ketiduran juga gak taunya 2 anak manusia itu baru muncul di Cibodas sekitar jam 7an pagi, Uedan ! 
Setelah sarapan pagi bareng bersama pemilik pondok, anak2 Montana, sekitar jam 8 pagi akhirnya kita mulai juga perjalanan menuju puncak Pangrango dan Lembah Mandalawangi dengan kondisi kurang tidur ! 
Target tempat! Waktu tidak dibatasi, pokoknya harus nyampe.... karena Bayu, sang Ketua Mapala dibutuhkan untuk acara ritual persiapan pelantikan di Lembah Mandalawangi.
Dan kami pun memulai pendakian itu diselingi istirahat yang cukup sering, meskipun kami sadar bahwa gunung Pangrango itu bukan gunung Gede, Pangrango itu lebih tinggi dari Gede. Perjalanan terasa panjang...... banget. Mountain sickness melanda, ngantuk dan malas banget bergerak! Rasanya gak pernah naik gunung semalas ini. 
Menjelang makan siang kita baru nyampe sedikit saja di atas air panas yang harus nya sudah lebih jauh keatas.  Sampe juga di Kandang Badak, sebagai pos pemisah antara gunung Pangrango dan gunung Gede, jam sudah di angka 5 ! Pada dasarnya semua juga sadar ini sudah lumayan lama.
Akhirnya kita berempat sepakat memutuskan untuk makan malam sekalian di Kandang Badak sebelum summit attact ke puncak Pangrango. Bayu Sembodo yang doyan masak, kali bawa ‘kulkas’ ke gunung, dia bawa udang mentah, daging 1 kilo, ayam 1 ekor, dll,dll. Idealnya, dia berniat masak tom yam, gule daging, dan ayam goreng di lembah Mandalawangi.. Malam itu kita memilih masak gulai daging. 
Asli, Enak banget, walau mulai dari persiapan masak sampai leyeh-leyeh setelah makan habis waktu sekitar 4 JAM!!!! Tapi kami juga sempat berbagi hasil masakan kami itu ke rombongan pendaki lain yang kebetulan nge-camp di Kandang Badak.
Pukul 9 malam kita mulai bertolak menuju puncak. Jangan ditanya dinginnya kayak apa. Tapi bayangan tidur di lembah Mandalawangi begitu menggoda dan tak tergantikan. Ternyata, perjalanan menjadi lebih sulit dari yang di duga, kondisi lelah karena malam sebelumnya kami ke Cibodas langsung dari pulang kantor dan malah Wening dan Bayu belum tidur dari malam sebelumnya membuat perjalanan begitu..... perlahan. Dikit dikit berhenti, cari napas, euy! 
Pengalaman adalah guru dari segala guru. Diantara dinginya malam, rasa kantuk yang hebat, kami sempat tersasar , masuk jalur babi hutan. Abis gelap banget and mata ngantuk banget! Tadinya sih niat agak mencari jalan agak memutar supaya gak terlalu mendaki yang curam.
Nyaris pukul 1 pagi, kita akhirnya nyampe juga di puncak Pangrango dan langsung turun ke Lembah Mandalawangi untuk buka tenda di sana. Kelihatan sudah berdiri beberapa tenda teman-teman disana, tapi ya udah sunyi banget pastinya, semua udah pada tidur. Dengan  tetap menahan dingin nya angina di Mandalawangi dan rasa kantuk yang makin menjadi, kita pun cepat cepat buka tenda dan langsung menyelesaikan tugas : Tidur !
Paginya matahari bagus banget. Terlihat teman-teman yang bercanda, ngopi, berfoto tapi ada juga sih yang malas bangun pagi-pagi, jadi saya foto foto sendiri. Padang Edelweiss terbentang didepan mata, Hmmm sebuah pemandangan yang tak tergantikan, terbayar sudah 17 jam mendaki, kedinginan, dan kelelahan. Subhanallah! Semoga saya selalu bisa kesini lagi, lagi, dan lagi! 


View dari Mandalawangi
Pulang...(foto by Anastasia)

Tips Memilih Jadwal Keberangkatan Saat Berlibur Bersama Balita

Pergi liburan bersama keluarga merupakan salah satu kegiatan yang pastinya menjadi wishlist di tiap tahunnya. Punya waktu yang bisa...