Tuesday, October 22, 2013

Kampung Adat Ciptagelar, Dari Wayang, Tungku Hingga Ikat Kepala




 
“Kapan kita nyampe di Desa nya ?” seakan sudah tak sabar Azzam melontarkan pertanyaan itu untuk kesekian kalinya setelah beberapa saat kami meninggalkan Pelabuhan Ratu.
Memang seperti biasanya, ketika akan mengunjungi suatu tempat, kami selalu memberi tahu Azzam akan kemana, tempat nya seperti apa, akan ada apa saja, dan hal-hal lainnya.  Seperti kali ini kita memberitahunya akan mengunjungi Kampung atau Desa Ciptagelar.

Setelah memakan waktu sekitar 3 jam, akhirnya kami ber-enam sampai juga di Kampung Ciptagelar.  Selain saya, Nouf (istri) dan Azzam ada Frino yang setia menemani saya selama menyetir kemarin malam, Atre sang penulis lepas serta Udin sang kameramen yang sebelum sampai di Kampung Ciptagelar, sempat singgah di salah satu rumah penduduk untuk menyampaikan hasrat sakit perutnya yang tak tertahankan.

Semakin sore beberapa tamu yang dari luar kota tampak mulai berdatangan.  Diantara pengunjung tersebut ternyata ada teman-teman kami yang juga datang dengan tujuan yang sama, yaitu menghadiri upacara ritual Seren Taun yang ke 645 di tahun ini.  Ritual adat ini merupakan ucapan terima kasih atas panen padi yang melimpah.

“Kita nginap 3 hari ya, disini” ujar Azzam setelah beberapa saat disana.  Rupanya dalam waktu singkat dia sudah dapat merasakan senang berada di Kampung ini.  Ini adalah live-in Azzam yang pertama kali, dan dia cukup merasa senang dan nyaman dengan suasananya.
Lalu matanya tertuju pada kumpulan boneka wayang yang ada di area panggung.  Sayapun mencoba menirukan beberapa macam suara, ketika Azzam menanyakan beberapa dari tokoh wayang tersebut.  Itu membuatnya tertawa senang dan tampak rasa kagum di matanya.

Tak lama kemudian, kami menuju rumah Kang Yoyo, tempat semula kami berencana untuk menginap.  Ternyata di rumah Kang Yoyo, sudah banyak tamu dari rombongan lain yang akan menginap, kamipun disarankan menginap di rumah Aki Dai, salah satu warga di Kampung Ciptagelar yang juga kebetulan sebagai pemimpin rombongan pemain angklung. Kang Yoyo sendiri, saat ini bisa disebut sebagai Humas dari Kasepuhan Ciptagelar.

Dengan diantar oleh Kang Yoyo, kamipun berkenalan dengan keluarga Aki Dai sekaligus mengutarakan niat untuk menumpang menginap di rumahnya selama beberapa malam.  Sambutan hangat dan ramah kami dapatkan dari Aki Dai dan keluarga.
Setelah ngobrol beberapa saat, kamipun menuju kediaman Abah Ugi (pempimpin Kasepuhan Ciptagear) untuk memohon ijin datang dan mengikuti acara ritual Seren Taun ini. Ada juga beberapa orang lainnya yang sudah ada disana dengan tujuan yang sama dengan kami.

Dari rumah Abah Ugi, kamipun kembali ke rumah Aki Dai. Obrolan yang terjadi dari mulai yang serius hingga bercanda membuat suasana terasa semakin akrab, tak terasa, waktupun bergulir dengan cepat. Nini (istri dari Aki Dai) mengeluarkan beberapa kasur beserta selimut dan bantal untuk alas kami tidur.  “Wah, maaf nih, Ni sudah merepotkan” ujar Frino.  “Ah, gak apa-apa, kita juga minta maaf cuma adanya begini”, balas Nini.

Sabtu paginya, kami semua kembali ngobrol di dapur rumah Aki Dai, didepan tungku masak sembari menikmati teh, kopi dan panganan kecil khas buatan lokal.
Tak lama kemudian Azzam pergi ke rumah Kang Yoyo.  Sepertinya dia sudah “jatuh cinta” pada tungku masak di rumah Kang Yoyo.  Benda bernama tungku yang pertama dilihatnya memang di rumah Kang Yoyo, ia betah berlama-lama didepan tungku sambil ikut membakar leunca atau ikut menambah kayu bakarnya, sambil sesekali bertanya dan ditanya oleh orang yang ada didekatnya.  Dalam waktu singkat dia pun berteman akrab dengan Benhur, anjing kepunyaan Kang Yoyo.

Selama disana, pun Azzam pun tak lepas dengan ikat kepalanya, yang diketahuinya sebagai salah satu adat kebiasaan yang ada di Kampung itu, setelah ia bertanya.
Kunjungan kali ini, merupakan tambahan pengalaman dan pengetahuan baru bagi Azzam.  Selain belajar budaya yang dilihat dan dipertanyakan olehnya, dia juga belajar bagaimana beradaptasi dengan lingkungan, orang baru sekaligus menginap di rumah orang, kebiasaaan makan yang piring nya harus selalu diletakkan di lantai (tidak diangkat).  Disini dia juga belajar bagaimana mempelajari dan menghargai budaya setempat.

Malam harinya, beberapa pertunjukan yang ditampilkan di panggung yang berbeda. Pertunjukan wayang, pementasan semacam drama dari penduduk dan anak-anak, tarian ditampijlan di panggung yang menghadap Imah Gede.  Sementara dipanggung lainnya ada pertunjukan dog-dog lojor dan jipeng. 

Hingga pada akhirnya tibalah pada acara puncak upacara ritual Seren Taun yang ke 645 yang jatuh bertepatan pada hari Minggu tersebut.  Ribuan pengunjung tumpah riuh di hari itu.
Hari berangsur siang, dan upacara ritual yang dipimpin Abah Ugi pun usai sudah. 

Sekitar pukul 2 siang, diiringi cuaca yang agak mendung kamipun meninggalkan Kampung Ciptagelar untuk kembali ke Jakarta.  Ingin rasanya suatu waktu nanti kembali kesini dengan waktu yang lebih lama.


Memainkan Wayang

 
Mencoba Gendang


Egrang

Bersama Aki Dai

Mendengarkan cerita dari sesepuh (Aki Dai)

Maen Bareng Benhur

Padi untuk acara ritual

Bersama Sang Pemimpin: Abah Ugi

Monday, October 7, 2013

Keluarga Petualang (Liputan di Net5 - Net TV)






Liputan Keluarga kami yang ditayangkan di Net5 (Net TV) pada tgl 28 September 2013. 

Liputan ini diambil pada saat keluarga kami berkunjung ke Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar yang di tahun 2013 ini merayakan acara ritual Seren Taun yang ke - 645.

Semoga menjadi tayangan yang bermanfaat :)


Sumber: Youtube 


Tips Memilih Jadwal Keberangkatan Saat Berlibur Bersama Balita

Pergi liburan bersama keluarga merupakan salah satu kegiatan yang pastinya menjadi wishlist di tiap tahunnya. Punya waktu yang bisa...