Kole-Kole |
Ilhas
dos papuas (pulau rambut keriting).
Begitu sebutan yang diberikan Bangsa Portugis untuk Papua yang konon
sebagai bangsa asing pertama yang menemukan Papua.
Namun
Bangsa Belanda yang datang berikutnya menamakan nya dengan sebutan Nieuw Guinea,
karena mengingatkan mereka pada penduduk suatu daerah di Afrika, yaitu Guinea.
Menurut
salah seorang bapak (penduduk) yang becerita bahwa awalnya memang Bangsa
Portugis lah yang menginjakkan kaki di Pulau Kekwa. Penamaan pulau tersebut sepertinya muncul
karena kesalahpahaman dalam komunikasi.
Karena ketika Bangsa Portugis mendarat di pantai pulau Kekwa, para
penduduk menyapa nya dengan “Apakah tuan naik perahu ?”, Kekwa dalam bahasa
Kamoro adalah perahu. Karena tidak mengerti
artinya, maka kata pertama dan diulang-ulang itulah kemudian dijadikan
pendatang Portugis itu atas pulau ini.
Setelah
perjalanan yang memakan waktu hampir 2 jam dengan menumpang jetty kecil dari
pelabuhan Amamapare yang berjarak 30 km dari pusat kota Timika sampailah kami
di Pulau Kekwa.
Sebelum
mendarat di Pulau Kekwa, kami sempat singgah sebentar di 2 pulau kecil, yaitu
Pulau Bidadari dan Pulau Puriri yang tidak berpenduduk. Sedangkan di Pulau Kekwa sudah sejak lama
dihuni oleh para penduduk yang berasal dari Suku Kamoro.
Seiring
berjalannya waktu, pulau yang letaknya dibagian paling selatan Papua dan
menghadap langsung ke laut lepas, yang akhirnya dijadikan titik pertahanan
tentara sekutu pada jaman perang dunia ke II.
Sisa-sisa peninggalan meriam besi yang berkarat masih terlihat beberapa
puluh meter dari lepas pantai.
Bahkan
menurut Pak Matius, sekertaris kampung bahwa penduduk masih juga sering
menemukan beberapa peninggalan lain berupa samurai, perkakas militer dan
peralatan makan (piring, sendok) peninggalan tentara Jepang yang akhirnya
meninggalkan Kekwa setelah peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki
menghancurkan negeri mereka. “Mungkin
kalo digali lebih dalam, di bagian dalam kampung akan masih ditemukan sisa-sisa
peninggalan Jepang tersebut” ujar pak Matius menambahkan.
Pasir
dan air laut telah mengubur peninggalan tersebut. bahkan menurut pak Matius,
Gereja mereka yang tadinya semula berada di pinggir laut terpaksa dipindahkan
ke dalam hutan, karena memang sudah dipindahkan beberapa kali.
Produk
budaya asli yang kami di Pulau Kekwa adalah sampan mereka yang unik. Satu batang pohon yang dikeruk bagian
tengahnya, sangat sederhana. Suku Kamoro
menyebutnya ‘kole-kole’ atau ‘perahu sendok’.
Setiap laki-laki Suku Kamoro pasti bisa membuatnya dan butuh 3 hari
untuk menyelesaikan pembuatan 1 perahu.
Hari
semakin siang, dan kami pun meninggalkan Pulau Kekwa yang menyimpan sejarah
didalamnya. Lambaian tangan dan senyuman
anak-anak Suku Kamoro turut mengantarkan kepergian kami hari itu.
No comments:
Post a Comment