Apa
yang ada di benak kamu kalau disebut kata “Bengkulu”?
begitu pertanyan saya pada beberapa teman.
Jawabannya berbeda-beda, ada yang menjawab Sumatra, Melayu, hingga
Tempoyak. Ada sih yang menjawab Rafflesia,
itupun karena memang sempat “googling”
sesaat sebelum ke Bengkulu.
Hari
itu adalah hari pertama saya menginjak tanah Bengkulu, daerah yang juga mempunyai
tadisi budaya tabut yang diperingati setiap 1 sampai 10 Muharam.
Bersama
dengan sekitar 30-an lebih travel blogger
yang berasal dari berbagai kota, kami meninggalkan Bandara Fatmawati Soekarno
untuk menuju ke daerah Curup yang merupakan ibukota kabupaten Rejang Lebong. Kami berada di Bengkulu atas undangan dari
Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu.
Di
dalam bus setelah menyampaikan kata-kata sambutan, Mike sang guide mengingatkan kami bahwa kami akan
melalui jalan berkelok-kelok yang dinamakan kelok Sembilan.. Dari namanya saja sudah terbayang jalanan
yang berkelok-kelok seperti kelok 44 yang ada di Sumatra Barat. Dan jangan tertipu oleh sebutannya yang
sembilan, dari yang sudah kami lalui jalanan yang berliku-liku dengan tikungan
tajam itu kalo dihitung-hitung bisa sekitar puluhan kelokan.
Selang
sekitar 50 menitan setelah meninggalkan bandara, tiba-tiba saja bus yang kami
tumpangi berhenti di pinggir jalan. Mas
Nody yang juga guide kami di hari itu, menyampaikan bahwa mereka mendapat
informasi bahwa ada bunga Rafflesia yang sedang mekar di sekitar sini. “Kita
dapat informasi disini ada bunga Rafflesia yang sedang mekar nih. Tampaknya in I hari keberuntungan kita”
ujarnya. Dan saat kami satu persatu
turun dari bus, Nampak dipinggir jalan ada spanduk yang bertuliskan “Rafflesia Mekar” yang ditambahi dengan
gambar bunga rafflesia seadanya.
Tak
semua orang yang datang ke Bengkulu bisa melihat secara langsung bunga ini
ketika sedang mekar. Bahkan ada yang
mengaku orang Bengkulu, tapi belum pernah melihat bunga raksasa ini secara
langsung.
Menurut
info memang dari masyarakat lokal lah biasanya informasi dimana dan kapan bunga
Rafflesia itu sedang mekar, atas usaha mereka biasanya pengunjung akan memberi
semacam “sumbangan” sukarela sebagai
timbal baliknya.
Jalan
tanah setapak dan menurun harus kami lalui untuk menuju spot dimana bunga rafflesia yang sedang mekar. Secara berbaris kami menjejakkan kaki di
tanah yang untungnya tidak licin. “Untungnya tidak hujan, kalo iya bisa agak
susah nih jalannya” ujar mas Nody.
Saat itu kami berada di Hutan Lindung Liku Sembilan, kawasan Tabah Penanjung.
Saya
berjalan di belakang fahmi, teman saya.
Sedangkan paling depan adalah warga lokal yang akan menuntun kami menuju
dimana bunga Rafflesia berada. Selang 10
menit berjalan, sampailah kami melihat bunga yang bagi sebagian orang masih di
kira sama dengan bunga bangkai. Satu
persatu teman-teman bergantian memfoto atau berfoto bunga langka itu, seraya
mengaguminya.
Padma
Raksasa atau dalam bahasa latinnya disebut Rafflesia
Arnoldii merupakan tumbuhan parasit yang terkenal karena memiliki bunga
berujuran yang sangat besar. Yang kami
lihat disana saat itu, berdiameter sekitar 60 cm.
Bunga
yang tidak memiliki daun ini, penamaannya tak lepas dari sejarah penemuannya
pertama kali pada tahun 1818 di hutan tropis Bengkulu, disekitar Sungai Manna,
kabupaten Bengkulu Selatan. Seorang
pemandu lokal yang berkerja untuk Dr, Joseph Arnold yang menemukan bunga ini
pertama kali. Dr. Joseph Arnold sendiri
ikut dalam suatu ekspedisi yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles. Dari sinilah asal penamaan bunga raksasa tersebut.
Tumbuhan
endemik di Pulau Sumatra ini sebenarnya sudah mempunyai nama dari masyarakat
lokal. Konon, suku Bengkulu yang
menemukan bunga ini sebelum adanya ekspedisi yang dipimpin oleh Sir Stamford
tadi, menamakan bunga ini sebagai bunga
sekedei atau bokor setan dan
sebagaian lagi menyebutnya ibeun sekedei
atau cawan hantu.
Setelah
semua orang mendapatkan waktu untuk melihat dan berfoto secara dekat bunga yang
hanya mekar selama tujuh hari ini, kami pun harus kembali ke bus untuk
melanjutkan perjalanan ke Curup.
No comments:
Post a Comment